Di bawah langit malam berbintang, bulan terang perlahan sembunyikan sinarnya. aku terpaku hanyut dalam buaian melodi jiwa, sunyi sepi sendiri. Alunan nada tak terarah dari gitarku seirama detak jantung iringi kegelisahan. Ku hujamkan inspirasi ke lembah lamunan, lelah menggoda.
Ku hibur diri dengan untaian nada dan sebait kata, “SENDIRI” ya itu laguku. Setiap butiran liriknya meresap jauh menyentuh dinding rasa, pilu hatiku. Anganku melayang terbang tinggi angkasa raya jatuh menjelma menjadi butiran air mata.
“symphony adalah bahasa jiwa sedang lagu adalah lukisan hati.” Serentak aku terkejut oleh kata-kata seorang gadis yang tampak tak aku kenali.
”subhanallah. maaf, siapa bidadari yang kehilangan sayapnya dan mengagetkanku?” ucapku dengan terkejut karena kalimat yang dia ucapkan itu tertulis dalam bukuku.
“itu adalah kalimat aneh dari Frenando yang suka memainkan gitar dan menciptakan lagu.” Jawabnya tanpa menghiraukan pertanyaanku.
“sesuatu yang tak punya nama akan mudah di lupakan. Sebutkan namamu akan ku ingat dirimu.” Ucapku memalingkan wajah ke arahnya penuh penasaran.
“apa aku tarlihat ingin di ingat oleh mu? IREST Khasanah Amaira.” Ucapnya menyebutkan nama sambil berjalan menghampiriku dan dia meraih gitar dari tanganku. Aku sedikit kesal karena tingkahnya itu.
“kenapa kamu suka musik?” Tanya Irest sambil memetik nada dari dawai gitar miliku.
“hidup adalah pilihan, lantunan nada yang bersautan menghasilan irama suara yang harmonis. indah di telinga dan mampu menenangkan jiwa. Itu alasanku memilih musik.” Jawabku dengan mataku memandangi langit berhiaskan bintang.
“apa yang kamu pilih dalam hidupmu?” sambungku sambil memalingkan wajahku ke arah Irest.
“aku juga suka musik, dan aku suka lagumu. Tapi aku tak sepandai dirimu. dulu aku pernah di buatkan sebuah lagu oleh mantan pacarku. Lagu itu kenangan yang mengingatkanku padanya. Sejak itu aku jadi lebih menyukai musik.” Jawab Irest setengah curhat.
“curhat? Tapi romantis juga.” Aku tersenyum dan sedikit menggoda mendengar ucapan Irest yang seperti gadis remaja sedang curhat pada Diary.
“Fren, kamu kan pandai bikin lagu. Bisa dong buatin lagu untuk aku.” Ucap Irest memohon dan melemparkan senyum manis menggoda padaku. Entah mengapa senyumannya menentramkan hatiku.
“insya ALLAH, apa sih yang nggak buat Bidadari secantik kamu.” Ucapku menggoda Irest, kemudian kami tertawa memecah keheningan malam.
“aaaahhh Fren, serius tahu.” Irest kembali memohon, kali ini raut wajahnya berubah terlihat manja.
“insya ALLAH, tapi aku ngga janji. Karena ngga gampang bikin lagu harus ada inspirasi, sedangkan aku dan kamu baru saja memulai lembaran kisah kita.” Ucapku jelas memberi alasan pada Irest, kemudian aku rebut kembali gitarku dan memainkan acoustic harmonis.
Aku dan Irest berbincang saling berbagi kisah hidup masing-masing di hiasi canda dan gelak tawa kami di balik sunyinya malam. Entah kenapa aku dan Irest yang baru kenal bisa mengobrol seperti sahabat yang sudah lama saling kenal. Mungkin karena kami sama-sama menyukai musik dan mudah bergaul tanpa canggung. Hingga tanpa terasa malam hampir larut dan Irest pun pamit pulang.
“Fren aku pulang dulu yah udah malam nih takut dimarahin, mami aku bilang Cinderela ngga boleh pulang lewat jam 12 malam.” Ucap Irest dengan gaya bercandanya yang asik.
“hahaha dasar anak mami luh.” Aku tertawa karena tingkah konyol Irest. Kami pun berjabat tangan kemudian Irest melangkah pergi menuju jalan pulang.
“hidup adalah harapan. mimpimu, mimpiku, mimpi kita semua sama. semoga hari esok lebih baik dari hari ini. Berdo’alah.” Ku ucapkan kata-kata manis untuk Irest sebelum dia jauh melangkah ditelan arah. Irest hanya memberiku senyuman dan lambaian tangan.
Semua yang datang pasti akan pergi. Saat melangkah kedepan jangan pernah berpaling kebelakang, karena menyaksikan seseorang pergi meninggalkan kita adalah suatu kesakitan.
Benar adanya, aku merasa kehilangan saat Irest berjalan menjauh mebelakangiku. ketika berjabat tangan saat tanganku menyentuh tangan Irest, aku merasakan relung hati ini ikut tersentuh. Itu gejolak rasa seperti saat aku berhasil menciptakan sebuah lagu. Namun lebih seperti menemukan sebidang Oasis di tengah gurun. Aku mendapatkan sesuatu yang pernah hilang. Benarkah ini? Mungkinkah aku? Bimbang bertanya pada hati.
Deru angin semakin menyentuh relung, dingin semakin dingin. “kriiik. . . kriik. . . kriiik. . .” nyanyian jangkrik bergantian menyerukan lagu pengantar tidur. Tepikan 2 mata terasa berat dan tak kuasa menahan kantuk yang menghinggapi raga. Gontai kaki melangkah bak pendekar mabuk. Lautan kapas serasa menggoda, ku baringkan semua lelah diatas kedamaian ruang penuh peluh. Walau tak sehangat pelukan kasih selimuti hati membelai lelap jauh menyelami mimpi malam ini.
Sejenak hilang resahku oleh buaian mimpi semalam. Tanpa aku sadari sang mentari telah naik dari peraduannya. Kicauan merdu khas burung bertalu-talu. sapaan ayam jantan melengking tajam bersahutan yang perlahan mengetuk jendela pagi membuka mata dunia. disana terlihat lembaran harapan baru menanti di depan pintu pagi. Semerbak aroma wangi melati menggoda dan sejuk udara pagi menuntun langkah menyusuri hari.
Dahaga terhapuskan terasa segar pulihkan semangat. Tubuhku terayun bersandar pada dinding hari tak bertepi. Perlahan ku buka lembaran memori dari bukuku dan ku tuliskan seuntai kalimat. “Selamat pagi dunia. Warnailah hari ini dengan senyuman penuh harapan.”
Anganku melayang jauh menelusuri deras hati mencoba menemukan sebuah inspirasi baru. Anehnya, mengapa di antara bayang-bayang lamunan hadir wajah Irest tersenyum manis. “wuuusssh” hembusan angin mengantarkan semerbak parfum, tercium wangi aroma tubuh Irest seakan ingin menyampaikan pesan dari Irest, “Selamat menyambut harapan. Senyumku untukmu, Fren.”. tanpa disadari aku pun tersenyum dan hati ku berbisik lirih “Pagi” balasku untuk Irest. Batinku tersentak inspirasi mengalir deras seiring darah menuju otakku. Kata demi kata terukir di iringi deru nada gitarku. Tiba-tiba terdengar nada panggil handphone milikku bordering, “ I wanna lay you down in a bad of roses. For tonight I’ll sleep on a bed of nails. I wanna be just as close as your Holy Ghost Is. And lay you down on a bed of . . . “ ku raih dan terlihat nama “Irest” di layar handphoneku. Aku sedikit kaget ternyata Irest menghubungiku karena sedari tadi aku terus memikirkan dia.
“assalamualaikum, halo Rest.” Aku jawab panggilan Irest di handphoneku dengan sedikit gugup karena kaget.
“wa’alaikumsalam. Udah bangun Fren?” balas Irest lewat handphone.
“belum nih, masih bermimpi.” Ucapku dengan tertawa kecil dan aku beranjak meraih headphone.
“Tak tergapai namun terasa. Tak terlihat namun terdengar. hadirnya bangkitkan berjuta tanya. Ada apa nih pagi-pagi udah nelpon?” Sambungku bertanya keperluan Irest menghubungiku sambil memasangkan headphone ke telingaku.
“jauh melangkah kasih terucap, au ah gelap. . . Mau ngucapin met pagi sekalian nanya, gimana lagu untuk aku Fren?” jawab Irest dengan nada suaranya ceria seolah berharap sekali dibuatkan lagu olehku.
“baru saja mata terbuka, sebercik senyuman hangat menyapa. Membisikan kata-kata inspiratif. Kebetulan nih aku lagi nyoba corat-coret buat bikin liriknya.” Ucapku sambil tangan kananku melanjutkan merangkai kata di atas secarik kertas sedang tangan kiriku menggenggam gitar.
“aah jangan bohong Fren. Serius jangan becanda mulu, ikh. . .” Ucap Irest pelan manja seakan tak percaya dengan ucapanku.
“iya serius. Siapa juga yang bohong. Ngapain juga aku bohongin kamu mending aku bohongin Mukhlis dapet duit. Hahaha. . .” Jawabku serius dengan sedikit candaan memancing tawa Irest yang asik.
“huuu duit mulu. Anak orang di bohongin terus dosa tahu.” Sahut Irest pada candaku.
“sumpah? Kamu dapat inspirasi darimana?” sambung Irest kaget dan penasaran.
“demi Allah, kalau kamu ngga percaya kesini aja lihat sendiri. Sekalian kita bikin bareng-bareng.” Aku menyuruh Irest datang ke tempatku untuk menemaniku, karena sejujurnya aku ingin dia berada disisiku memberi motivasi dan inspirasi.
“kalo sekarang aku ngga bisa, soalnya aku harus bantuin mami masak dulu. Nanti kalo udah selesai aku langsung ke rumah kamu gimana?” ucap Irest daengan logat bicaranya serius manja.
“siap komandan. Aku tunggu di TKP.” Sahutku memberi pengertian pada Irest.
“haha. . . kamu kaya petugas tim forensik aja Fren.” Akhirnya suara tawa lembut Irest keluar dari persembunyiannya.
“Irest sayang, kamu lagi ngapain? Katanya mau bantuin mami di dapur.” Terdengar dari jauh suara merdu Ibu Ikha (Ibunda Irest) memanggil Irest.
“iya mam, sebentar.” Sahut Irest menjawab panggilan Ibundanya.
“udahan dulu yah telponnya, udah di panggil mami tuh.” Ucap Irest izin untuk menyudahi percakapan telpon kami.
“ya sudah sana nanti di marahin.” Jawabku mengizinkan.
“assalamu’alaikum, dah Fren.”
“wa’alaikumsalam.” Kemudian telpon kami pun terputus. Aku pun kembali melanjutkan kegiatanku di temani gitarku.
mencoba mengais butiran kata tersembunyi di kedalaman dinding hati yang sepi. Tak terjamah tak kasak mata namun jelas terasa bergejolak. Jauh, jauh lamunan meraih asa. Dalam, dalam kegelapan ruang. Tak lelah mencoba walau takan mudah untuk mengerti arti kata “AKU”. Yang kutemukan hanya sebaris puing-puing kenangan, gambaran kisah masa lalu yang terlupakan.
Dari kesejukan setetes embun pagi untuk keheningan senja di sore hari. Rimbun dedaunan satu per satu jatuh tertiup hembusan angin. Ranting yang rapuh rela patah demi satu tunas. panorama asri rimba tak mampu tenangkan dunia. kicauan Ciung-Mungkal beradu dengan bisikan Apis Dorsata hasilkan alunan distorsi Alami tak selaras namun indah. Kini tersenyap dalam keterasingan yang kering. Mentari memayungi semesta, sinarnya menghangatkan jalan hidup yang kian memanas, di antara lelah menunggu lembayung melukiskan kisah cinta.
Matahari tepat diatas kepala, panasnya menghujani tubuh. Aku masih sibuk memikirkan materi untuk lagu di bayangi senyuman Irest. Tiba-tiba terdengar suara bisikan, “oh cintaku” Terngiang jelas di telingaku lembut menyentuh hati. “aku merindukanmu” terdengar lagi suara yang sama berbisik lirih. Perasaan terenyuh hanyut dalam kerinduan, tenang.
“doorrr . . .” dari belakang dengan sengaja Irest mengagetkanku bersamaan kedua tangan lembutnya memegang pundakku dan mendorong tubuhku pelan ke arah depan.
“Astaghfirullah, kamu lagi kamu lagi.” Aku terkaget untuk ke sekian kalimya oleh kehadiran Irest. Yang ternyata sudah dari tadi dia memperhatikan aku di belakangku.
“hehe. . . serius banget. Entar cepet tua luh.” Ucap Irest dengan tertawa puas karena berhasil megagetkan aku lagi. Di berdiri di belakang kursi tempatku duduk. Wajahnya terlihat berseri semakin membuatku kagum dengan kecantikannya.
“biarin week. . . eh jelangkung kapan kamu datang? Masuk kamarku ngga ngucapin Assalamu’alaikum.” ucapku kesal atas tindakan Irest mengagetkankutadi.
“iiiiikkhhh. . . enak aja jelangkung, kuntilanak tahu. Tadi aku udah ngucapin salam, tapi di dalam hati.” Ucap Irest membalas candaanku sambil jemari tangannya menggelitiki pinggangku kemudian dia tretawa kecil.
“abisnya, setiap kamu datang ngagetin aku mulu kaya setan.” Ucapku sambil memalingkan wajahku dari Irest ke meja tempatku biasa menuangkan inpirasi. Diatas meja tergeletak sebuah buku dan secarik kertas penuh coretan tanganku.
“hehehe. . . tapi cantik kan?” ucap Irest memuji diri dan menunjukan senyum manjanya ke hadapanku. Wajah kami bertemu dan aku menatap dua bola mata yang memancarkan sinar penuh cinta menatap balik ke arahku. Sejenak kami tenggelam dalam keheningan ruang, Aku diam saja pura-pura tak menghiraukan perkataan Irest. Bibirku membisu tak berucap cukup dalam hati aku memuji kecantikan Irest. Aku berusaha untuk menghindari keadaan tapi hati ini seolah tak mau berpaling.
“berhiaskan milyaran bintang yang tergerai indah diantara pakatnya angkasa. Menjadikan galaksi disebut sebagai lukisan terindah dari surga, tapi kini tidak lagi. Sesuatu yang ada, jauh di dalam hati yang terpancar dari sinar matamu mengalahkan segala keindahan Surgawi.”
ucapanku sedikit mengagetkan Irest dan membuatnya salah tingkah.
“tadi kamu nulis apaan sih Fren?” ucap Irest memalingkan wajah mengalihkan perasaan malu, kemudian Irest meraih selembar kertas diatas sebuah buku milikku dari meja.
Oh cintaku, cepatlah kmbli.
Aku slalu merinduknmu.
Hanya untukmu, aku telah berjanji.
Disini aku menantimu.
aku percaya cinta.
walau kau jauh di sana.
janji kita , setia.
Terdengar lirih Irest membaca coretan yang ada pada kertas itu, yang memang aku tulis untuk Irest.
“indah menyentuh, bukti lukisan hati. Sungguh beruntung wanita yang menjadi kekasihmu.” Ucap Irest sambil memandangi secarik kertas kemudian dia meraih buku kumuh milikku.
“aku ngga seberuntung Romeo. Mungkin aku pandai mengindahkan kata-kata, tapi tidak soal cinta. Beginilah resiko orang jelek.” Jawabku menanggapi ucapan Irest tentang percintaanku dengan sedikit candaan untuk memecah keheningan ruang karena salah tingkah.
“merendah ceritanya? Emang seniman itu aneh-aneh yah.” Ucap Irest menilai, dia tidak percaya akan ucapanku.
“terus lirik lagu untuk aku mana Fren?” sambung Irest dengan nada kesal, kemudian duduk di kursi.
“itu di tangan kamu.” Jawabku sambil berdiri di samping pintu kamarku dan menyalakan sebatang rokok untuk merilekskan diri.
“ini?? Kertas ini??” ucap Irest dengan nada kaget dan tak percaya. Aku hanya menjawab ucapan Irest dengan anggukan kepala.
“kok ngga bilang dari tadi sih Fren. Inspirasi darimana ini?” Irest berdiri dari duduknya melangkah pelan ke arah tempat tidur kemudian dia duduk di tepi ranjang di sampingku yang sedang berdiri bersandar pada dinding.
“hilangnya nyawa takan tergantikan. Kasih pergi menghapus kisah. Sesaat berjumpa keindahan senyuman mampu sembuhkan luka. Hadirmu tumbuhkan inspirasi terdalam. Dirimulah yang memberiku inspirasi, IREST Khasanah Amaira.” Irest terdiam mendengar aku membacakan sebuah sajak yang berisikan kata-kata bahwa dirinyalah inspirasiku, dialah yang sedang aku pikirkan saat ini.
“lantunan berjuta kata-kata bersajak terangkai indah dalam paragraph. Indah kata-katamu, suaramu, notasimu menyerukan pesan penuh kedamaian. Menyentuh perasaan yang menyulut percikan api cinta di hati. Rasa ingin mendengar engkau menyanyikannya untuk diriku. Andai kau hadir lebih awal dari dia yang telah mengisi hatikku, akan ku tempatkan dirimu di sisiku.” Aku dengar Irest mengungkapkan isi hatinya lewat kata-kata yang di ucapkannya itu. Aku pun terdiam sejenak mendengar kata-kata dari Irset. Irest pun ikut terdiam.
“ada makna terkandung dibalik setiap untaian kata yang terucap. Bisakah kau menjelaskan makna kata-katamu tadi?” ucapku dengan perasaan bingung menyelimuti pikiranku akan maksud ucapan Irest.
“ ‘I will always love you until die.’ aku sudah punya kekasih, dan kami sudah berencana untuk menikah.” Ucap Irest dengan nada pelan dan menundukan kepala. Aku melihat dia meremas sedikit bagian tepi kertas yang dia pegang. Aku pun kaget, seakan tak mau tahu dengan ucapan Irest tadi. Perasaanku pun berkecamuk di dalam dada saat tahu bahwa Irest sudah memiliki seorang kekasih.
“terus?” ucapku sambil berusaha untuk tetap tenang dan menyembunyikan perasaanku dari Irest.
“aku sangat mencintai Zifian, tapi. . . “ ucap Irest penuh perasaan namun terpotong. Kemudian dia mengusap wajahnya dengan kedua tangannya.
“tarik nafas, lalu ucapkan dengan tenang apa yang ingin kamu sampaikan.” Ucapku mencoba menenangkan Irest agar dia bisa melanjutkan ucapannya yang terpotong.
“aku sangat mencintai zifian, dan aku berharap dialah cinta terakhirku. Tapi cinta datang tak terduga, aku merasa aku telah jatuh cinta lagi.” Ucap Irest pelan, tampak raut wajahnya bingung dengan apa yang tengah dia hadapi.
“Telah lama mengalir namun enggan tertumpah. Terendap di dasar liang peraduan nafas. Dunia selamanya gelap hitam pekat. Hadirnya waktu menyapu dusta. Antara selat hati terbentang kepiluan. Angkasa raya menyimpan misteri nafas. Ungkapkan, buktikan secercah kenyataan.”
“dalam hidup, terkadang kita di hadapkan pada pilihan yang sulit. Berfikirkah dengan bijak dalam mengambil keputusan. Karena apa yang kau pilih akan berdampak bukan pada diri kita saja, orang lain pun akan ikut merasakan dampak atas tindakan kita.” Ucapku memberikan sedikit nasehat untuk Irest agar dia tahu mana yang terbaik untuk hidupnya.
“apa yang akan kamu lakukan Fren?” Irest bertanya padaku, seakan aku juga ikut terlibat dengan permasalahan Irest.
“aku telah jatuh cinta lagi. Ya, aku jatuh cinta kepadamu. FrenAndo. Apa yang akan kamu lakukan? Apa?” ucap Irest pelan melangkah ke arahku dan berhenti tepat di hadapanku. Kemudian Irest menatap wajahku dengan sinar mata yang menunjukan perasaan bersalah dan bingung.
“aku?” dengan nada pelan spontan aku menjawab ucapan Irest. Irest mangangguk menanggapi pertanyaanku.
Perasaanku pun ikut terhanyut dalam keadaan perasaan Irest, antara bahagia dan bingung kenapa semua ini terjadi. Tanpa di sadari olehku, Irest perlahan memejamkan matanya dan mendekatkan wajahnya ke arah wajahku. Sepertinya dia hanyut dalam buaian cinta dan aku pun tanpa sadar ikut mendekatkan wajahku ke arah wajah Irest. kini bibir tipis Irest semakin mendekati bibirku. Tubuhku bergetar, terasa lemas dan rileks. Hingga tak sadar jemariku melepaskan sebatang rokok yang masih menyala dan jatuh tepat di atas kakiku, aku pun tersentak kaget, Kami pun saling memalingkan wajah dan terdunduk malu.
“sorry.” Ucap Irest dangan malu.
“ya, ngga apa-apa. Mungkin aku belum beruntung.” Balasku dengan sedikit candaan sambil mengusap kakiku yang terkena api rokok.
Tak lama kemudian tiba-tiba suara nada panggil handphone milik Irest berdering.
“assalamu’alaikum, ada apa Mas?” ucap Irest menjawab panggilan di handphone.
“wa’alaikumsalam. sayang, kamu lagi dimana? temenin aku jalan-jalan yuk?” terdengar lirih suara seorang pria berbicara dengan Irest. Sepertinya itu Zifian, kekasih Irest yang baru saja Irest ceritakan.
“emang mau kemana Mas?” ucap Irest pelan.
”kita ke tenpat biasa, tempat favorit kamu.” suara pria itu menjawab.
“pantai? Ya udah kita ketemu disana 30 menit lagi.” Ucap Irest berjanji pada Zifian.
“oke sayang, aku tunggu disana yah.” Ucap Zifian menyetujui.
“assalamu’alaikum.” Ucap Irest dengan terburu-buru menyudahi percakapan telpon mereka, karena Irest merasa tidak enak dengan aku yang terabaikan.
“sorry Fren, aku pulang dulu. Aku harus . . . “ ucap Irest padaku.
“iya ngga apa-apa, aku ngerti.” Ucapku memotong ucapan Irest.
“lagunya . . . ?” kembali Irest bicara terbatah.
“udah sana, urusan lagu gampang nanti aku selesaikan sendiri.” Ucapku memberi pengertian kapada Irest.
“sekali lagi sorry yah Fren, sorry banget.” Ucap Irest marasa bersalah.
“aku pulang dulu yah Fren, Assalamu’alaikum.” Sambung Irest berpamitan, dia melangkah pasti keluar kamarku.
“wa’alaikumsalam. Ingat, hidup adalah pilihan. Cobalah untuk menjaga apa yang sudah kau miliki. Karena janji adalah pilihanmu dulu dan nanti.” Aku mencoba menasehati Irest, dalam keadaan berjalan Irest pun memalingkan wajahnya ke arahku dengan raut kebingungan. Kemudian dia meneruskan langkah kakinya dan lenyap tersapu pintu yang tertutup rapat.
Kini aku pun termenung sendiri dengan perasaan yang bergelombang. Apa yang harus aku lakukan, aku jatuh cinta kepada Irest dan Irest pun sebaliknya namun ternyata Irest sudah meiliki kekasih yang sangat dia cintai. Aku memungut secarik kertas yang tergeletak di lantai, ternyata itu kertas puisi miliku. Aku pun teringat denang janjiku pada Irest untuk membuatkan lagu. Aku meraih gitar dan penaku kembali melanjutkan merangkai kata demi kata yang terngiang dalam benakku. Namun yang terlintas hanya bayangan Irest, jemariku bergetar dan menari-nari diatas kertas.
Tajuk lagu SETIA terlintas begitu saja, “akan ku nyanyikan untukmu Irest Khasanah Amaira.” Ucapku dalam hati. Setelah aku menyelesaikan lagu, aku pun hanyut dalam kedamaian perasaaan dan tertidur di atas ranjang.
Tiba-tiba aku di kejutkan oleh nada dering panggilan handphone miliku yang berdering dan aku pun terbangun dari tidurku. Aku pun segera menjawab panggilan telpon yang ternyata dari Irest.
“Assalamu’alaikum, ada apa Rest?” ucapku dengan nada suara serak karena baru bangun dari tidur.
“wa’alaikumsalam, kemana aja Fren? Tadi aku SMS ngga dibalas.” Ucap Irest pelan terdengar di handphoneku, sepertinya dia masih terbawa perasaan sejak kejadian di rumahku tadi.
“sorry, tadi aku ketiduran. Emang kamu SMS apa tadi?” jawabku memberi alasan karena tidak sempat membalas SMS.
“ooh, sorry aku ganggu ngga?” ucap Irest menghela nafas karena merasa tidak enak telah membangunkan tidurku.
“ngga kok, aku juga udah bangun. Emang ada apa?” jawabku menenangkan Irest.
“kamu bisa kesini ngga Fren? temenin aku, please . . .” ucap Irest memintaku datang untuk menemani dia.
“dimana? Bukannya tadi kamu pergi jalan sama Zifian?” ucapku penuh penasaran.
“iya tadi, dia udah pulang duluan. Sekarang aku sendirian. Kamu kesini yah, aku tunggu di Pantai Alam Indah.” Ucap Irest menjelaskan keadaan yang sendirian.
“insya Allah, 15 menit lagi aku kesana.” Ucapku mengiyakan permintaan Irest.
“jangan lama-lama, Assalamu’alaikum.” Irest mengucapkan salam tanda mengakhiri sambungan telpon.
“iya, wa’alaikumsalam.” Ucapku, kemudian telpon pun terputus.
Aku masih terkulai diatas ranjang dan melihat layar handphone ternyata ada 3 SMS dari Irest yang belum sempat aku baca. Aku pun beranjak dari tempat tidurku dan bergegas merapikan diri untuk pergi menemui Irest yang menunggu di pantai.
Perlahan aku menapaki perjalanan di antara keramaian jalan raya. Sepanjang perjalanan aku terus memikirkan Irest, Ada apa dengan dia? Kenapa dia sendirian di pantai? Pilkiranku kacau balau penuh pertanyaan-pertanyaan yang membingungkan.
Setelah aku sampai di area Pantai Alam Indah. Aku berjalan menelusuri bibir pantai untuk mencari keberadaan Irest, akhirnya aku menemukan Irest dan aku perlahan berjalan mendekati Irest yang terlihat sedang duduk termenung sendiri di ujung dermaga.
“Diantara deburan ombak, pemandangan biru laut memanjakan mata. Membuai jiwa menyelami kedalaman hati. Semilir angin sejuk membelai lembut perasaan. Kehadiranmu menambah keindahan Dunia. Mengapa Cinderela termenung sendirian disini? Tidakah kau melihat keindahan alam memudar bila kau bersedih? Tersenyumlah, seiring hembusan angin keceriaan. Samapikanlah salam penuh cinta pada dunia. Bernyanyilah, seiring langit senja menari di penghujung hari. Bisikkanlah semua rahasia hati pada ikan yang berenang. Dan berbahagialah wahai Cinderelaku.” Ucapku menyapa Irest yang diam termenung.
“hmmm . . . sok puitis.” Ucap Irest menanggapi ucapanku.
“aku lebih menyukai bahasa tulisan daripada lisan. lagian kamu ngelamun mulu, entar kesambet.” Ucapku dengan sedikit canda menghibur Irest dan memencing Irest untuk tersenyum.
“biarkan, biarkan debur ombak menyapu tepian hati mengikis butiran cinta ini. Biarkan, biarkan angin menerbangkan resahku ke awan dan jatuh berantakan memecah pilu. Biarkan, biarkan semesta merasakan. Biarkan, agar aku mengerti.” Jawab Irest menanggapi ucapanku dengan sebaris kata berekspresi.
“Sebaris kata-kata bersajak benamkan perasaan, jauh menyentuh karang hati. Janganlah tenggelam di antara dilema hidup. Angkat kepalamu, jangan tertunduk. Raih semua harapan dengan senyuman.” Ucapku membalas kata-kata Irest. Irest tertunduk diam, mencoba menyembunyikan perasaan yang terombang-ambing di tengah samudra jiwa.
“jujur, aku akui. Aku pun merasakan apa yang kamu rasakan, aku jatuh cinta kepada dirimu Irest Khasanah Amaira. Tapi aku tak punya cukup keberanian untuk mengungkapkan cinta ini kepadamu.” Ucapku mengungkapkan perasaanku kepada Irest. Irest terkaget mendengar ucapanku, Irest perlahan mengalihkan pandangan matanya ke arahku, aku pun memandang balik dengan sinar mata menunjukan bahwa apa yang aku katakana itu benar-benar dari hati.
“sekarang apa yang akan kamu lakukan?” Tanya Irest padaku.
“hidupilah hidup, arti yang bermakna hanya pemikiran. Akan lebih bermakna dengan bukti perbuatan.
Hiduplah untuk mati, renungi diri dalsm waktu yang tersisa tanpa tersia-sia. Berfikir realistis, hari esok bukan janji. Aku sudah tahu apa yang harus aku lakukan.” Jawabku menanggapi pertanyaan Irest dengan pasti.
Hiduplah untuk mati, renungi diri dalsm waktu yang tersisa tanpa tersia-sia. Berfikir realistis, hari esok bukan janji. Aku sudah tahu apa yang harus aku lakukan.” Jawabku menanggapi pertanyaan Irest dengan pasti.
“apa?” ucap Irest kembali menanyakan tindakanku.
“penuhi janjimu, akan ku penuhi janjiku.” Aku hanya menjawab pertanyaan Irest dengan permohonan sambil melangkah pergi meninggalkan Irest yang masih duduk di ujung dermaga.
“maksudnya?” teriak Irest pemasaran dengan memalingkan wajahnya ke arahku namun ternyata aku sudah melangkah membelakangi.
“ayo pulang udah hampir Maghrib, nanti dicari mamih.” Ucapku dengan nada sedikit keras karena jarakku jauh dari Irest.
“iya nanti aku nyusul.” Teriak Irest menanggapi ajakanku pulang.
Aku pun terus berjalan semakin jauh meninggalkan Irest sendirian di pantai. Dalam perjalanan pulang, benak dan pikiranku terus terlintas memikirkan apa yang akan aku lakukan dengan keadaan ini.
Sejak pertemuan di pantai, aku memutuskan hubungan komunikasi antara aku dengan Irest. Sengaja aku meNon-aktifkan handphoneku, walau Irest datang ke rumahku aku tak mau menemui dia. Aku mencoba memberikan Irest waktu untuk berpikir dan berusaha melupakan kehadiranku dalam hati dan pikirannya.
Satu demi satu ku tempuh jalan kehidupan
Lebih banyak dari helaan nafas yang ku hembuskan
Pagi siang malam semua sama saja
Hanya sepi dan hampa yang kurasa
Bila hidup seprti ini adanya
Maka aku hanyalah sebuah fatamorgana
Biarkan waktu berputar dan menghapus hadirku dalam duniamu
Dalam pekatnya ruang ku coba bertahan, menyendiri.
kasih
ketika hujan turun menerpa angin rindu
berteduhlah di bawah payung hatiku
pejamkan matamu tuk sejenak dalam kedamaian
bisikan pada hatimu, sebut namaku dengan cinta
perlahan, coba kau rasakan detak jantungmu menggema
di antara derasnya air hujan merintiih
saat kau dapat mendengar suara datak jantngmu
saat itu percayalah kasih
aku pun disini merindukan dirimu
ketika hujan turun menerpa angin rindu
berteduhlah di bawah payung hatiku
pejamkan matamu tuk sejenak dalam kedamaian
bisikan pada hatimu, sebut namaku dengan cinta
perlahan, coba kau rasakan detak jantungmu menggema
di antara derasnya air hujan merintiih
saat kau dapat mendengar suara datak jantngmu
saat itu percayalah kasih
aku pun disini merindukan dirimu
Dari balik pintu kamar aku mendengar Ibuku sedang mengobrol dengan seseorang, dari suaranya aku rasa itu suara Irest entah sedang membicarakan apa denagan Ibuku. Kemudian,
“Fren, ada Irest nyariin kamu tuh dia nungguin di ruang tamu. Ayo sana temuin, kasihan udah nungguin.” Ucap Ibuku sambil berdiri membuka pintu kamarku.
“Irest? Ibu bilang aja ke dia, aku lagi tidur.” Ucapku sambil bermalas-malasan di atas tempat tidur.
“huss. . . masa nyuruh Ibu bohong sama Irest sih.” ucap Ibuku tak beranjak dari pintu kamarku.
“males aja Bu, ngantuk.” Ucapku memberi alasan tidak mau menemui Irest.
“kok males? Biasanya kalo Irest datang kamu langsung keluar menemuinya. Lagi berantem yah?” ucap Ibuku mengingatkan kebiasaanku dan sedikit menggodaku sambil tersenyum.
“aku lagi ngga biasa. Tolong yah Bu, kali ini aja.” Ucapku cuek menjawab pertanyaan konyol Ibuku.
“jadi bener lagi berantem nih? Kasihan tuh irest udah nungguin lama.” Ucap Ibuku kembali menggoda dan menyuruhku menemui Irest.
“bu . . “ ucapku dengan nada jutek seakan ingin cepat-cepat Ibu keluar dari kamarku dan menyampaikan pesanku pada Irest.
“ngga nyesel . . .?” ucap lembut Ibuku terus menggoda.
“Ibu . . . “ ucapku panjang yang tak ingin terus di goda dengan kata-kata Ibu.
”iya, iya entar Ibu kasih tahu Irest kalau Frenando lagi ngambek. Hehe . .” ucap Ibuku sambil melangkah menjauhi pintu kamarku menuju ruang tamu untuk menemui Irest.
Ibuku memang tipikal Ibu Rumah Tangga yang suka bercanda, tapi bisa gawat kalau Ibu memberitahu Irest bahwa aku tidak mau menemui dia.
Tak lama kemudian Ibuku kembali ke kamarku, kemudian Ibu duduk di samping tempat tidurku sedangkan aku masih merebahkan diri bermalas-malasan memainkan lirih gitar kesayanganku di samping Ibu duduk.
“terkadang apa yang kita dapatkan tidak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Kita manusia hanya bisa menerima kehendak Allah S.W.T. dengan ikhlas hati.” Ucap Ibuku lirih menasehatiku, menatapku penuh kasih sayang.
“Allahu’alam, aku tahu Bu.” ucapku menanggapi nasehat Ibuku.
“Ibu tahu apa alasan kamu tidak mau menemui Irest tadi. Ini ada titipan dari Irest.” ucap Ibuku sambil memberikan selembar kertas surat warna jingga.
“taruh aja di atas meja Bu.” Ucapku cuek tak mau menghiraukan surat dari Irest tersebut.
“Irest ingin kamu cepat membacanya karena dia bilang nomor kamu susah dihubungi.” Ucap Ibuku menyampaikan pesan Irest.
“iya Bu, nanti juga aku baca.” Ucapku menanggapi permohonan Ibu.
“kamu harus sabar yah, Ibu tahu kamu anak yang tabah. Nih Ibu letakan disini yah, maaf tadi Ibu membaca isinya sedikit.” Ucap Ibuku kembali memberikan nasehat sambil meletakan kertas surat dari Irest di atas meja.
“iya Bu, ngga apa-apa. Makasih yah Bu.” ucapku mendengarkan nasehat Ibu.
“Ibu tinggal dulu, Ibu harus beres-beres di belakang masih berantakan.” Ucap Ibuku izin pamit dan melangkah keluar dari pintu kamarku.
Aku yang sebelumnya berlagak acuh dan cuek di hadapan Ibuku, mendengar Ibuku mengatakan telah membaca isi surat Irest membuat aku penasaran dan dengan cepat meraih kertas surat pemberian Irest lalu membaca isi surat tersebut. Di dalam surat tersebut tergores tulian tangan Irest yang berisikan,
Asalamu’alaikum,
Sebelumnya aku minta maaf karena sudah merepotkanmu dengan semua kejadian yang kita alami. Hari-hariku bersamamu penuh canda, tawa, puisi, nyanyian dan air mata akan selalu tergores di dinding hati dan merekam semua itu pada memori kenangan hidupku.
Namun entah apa yang membuatmu kini menjauhiku. “penuhi janjimu, akan ku penuhi janjiku.” Hanya kalimat yang kau ucapkan itu yang mengganggu pikiranku ketika hati ini merindukanmu. Aku coba menghubungi handphonemu tapi tak pernah aktif, seakan kau sengaja menjauhiku.
Bersamaan dengan surat ini aku ingin mengundangmu datang ke acara pernikahanku,
Irest Khasanah Amaira
&
Zifian
Aku sangat berharap kau bisa hadir dalam acara tersebut tepat di hari ulang tahunku 11 Mei, bertempat di rumahku.
Sekian isi suratku. sebenarnya masih banyak yang ingin ku katakan padamu, namun aku ingin mengatakan semua saat kita bertemu nanti. Maaf bila selama ini aku sudah terlalu banyak membebani pikiranmu.
Dariku yang menyayangimu
Irest Khasanah Amaira
Aku hanya bisa tersenyum saat membaca isi surst Irest. akhirnya dia memenuhi janji cinta kepada Zifan (kekasih Irest) dan akan melangsungkan pernikahan tepat di hari ulang tahun Irest 11 mei.
Jauh tersesat dalam dunia fana, terombang ambing oleh badai waktu membutakan arah tak bedaya. Mencoba untuk menjelajahi ruang. Tiada arti selain hampa, semu belaka. Dahaga leleh jiwa menggoda, kaki melangkah tak terarah. Di ambang keputusasaan kau hadir memberi harapan. Oasis terhampar indah memenjakan mata. Berhiaskan cahaya surgawi, bermahkotakan paras bidadari, wangi kasih beraromakan cinta sembuhkan luka di dinding jiwa. tersadar, semua hanya FATAMORGANA
Kini hari-hariku senyap, dengan sabar mencoba menepiskan rasa namun mengapa hari selalu datang dan pergi? Sesaat tersenyum ketika bersapa kemudian terjatuh bila berpaling. Jangan sesalkan bila tak bertemu, karena yang datang pasti akan pergi.
Hari ini tepat tanggal 11 Mei, aku lekas menyiapkan segala sesuatu yang akan di butuhkan saat aku datang menghadiri acara pernikahan Irest. Mentalku harus kuat dan batinku harus siap menerima kenyataaan di depan.
“wah, kelihatan ganteng dan keren sekali anak Ibu ini pake kemeja rapi sambil membawa gitar.” Ibu menyapa dan memuji melihatku keluar dari kamarku mengenakan pakaian terbaik dan membawa gitar.
“iya dong, secara Ibu Frenando cantik gitu ya pasti anaknya jelas keren.” Ucapku menanggapi pujian yang dilemparkan Ibu dengan balik memuji Ibu sambil memakaikan sepatu pada kaki kanan dan kiriku.
“huuu. . . kamu bisa aja memuji Ibu. Emang Frenando mau kemana?” ucap Ibu tersanjung dengan pujianku.
“ini Bu, aku mau menghadiri acara di rumah Irest sebentar.” Jawabku menanggapi pertanyaan Ibu.
“acara resepsi pernikahan Irest?” ucap Ibu kaget yang teringat akan isi surat Irest yang pernah Ibu baca dulu.
“nah itu Ibu tahu.” Ucapku membenarkan ucapan Ibu.
“beneran kamu mau menghadiri acara Irest? kamu sudah siap melihat dia bersanding dengan cowo lain?” ucap Ibu bertanya memastikan kesiapan batinku.
“Insya Allah aku siap Bu. Walau pun bukan denganku, asalkan bisa melihat Irest tersenyum bahagia aku akan ikut bahagia.” Jawabku menegaskan bahwa aku sudah siap dengan semua ini.
“sabar yah Fren, Ibu akan selalu mendo’akan dan mendukung apa pun yang kamu lakukan. Dan cobalah untuk tetap tersenyum di hadapan Irest nanti agar dia tersenyum bahagia saat melihatmu.” Ucap Ibu memberikan nasehat terbaik yang pernah aku dengar sambil membelaiku penuh kasih sayang seorang Ibu kepada anak tercinta.
“iya Bu, terima kasih untuk semua nasehat yang Ibu berikan. Permisi Bu, aku berangkat dulu nanti terlambat. Assalamu’alaikum.” Ucapku sambil mencium tangan kanan Ibu kemudian melangkah melewai pintu depan rumahku. Aku mnyalakan sebatang rokok dan ku hisap untuk menenangkan jiwa, kemudian aku bergegas menyusuri jalan setapak di bawah langit malam menuju rumah Irest.
Dalam pencarian yang tak berujung, masih belum menemukan titik temu antara jalan mimpi dan kenyataan. Hanya ada sepercik bayangan berlalu lalang, sesaat datang kemudian pergi dan tak pernah diam. Di tempat persinggahan berikutnya akan benar-banar menguras perasaan.
Pintu gerbang rumah Irest mulai tampak dari kejauhan, langkah kakiku kian melambat menahan getaran. Dengan pasti aku sisipkan do’a diantara langkahku yang semakin mendekati pintu gerbang rumah Irest. Tampak dari luar keramaian orang berkumpul di tengah halaman rumah yang megah. Namun saat aku akan memasuki pintu gerbang aku di hadang oleh penjaga (pagar ayu).
“maaf, bisa anda menunjukan Surat Undangan Pernikahan? Ucap seorang wanita salah satu dari dua pagar ayu memintaku menunjukan Surat Undangan Pernikahan.
“undangan? Seperti apa?” jawabku dengan bingung karena tidak mengerti Surat Undangan Pernikahan yang di maksud.
“anda tidak memiliki Surat Undangan Pernikahan? Maaf anda tidak di izinkan masuk.” Ucap wanita itu tidak memperbolehkanku menghadiri acara pernikahan Irest karena aku tidak memiliki Surat Undangan yang di maksudkan.
“tapi Irest mengundangku untuk hadir dan memberikanku surat ini.” ucapku memaksa untuk masuk kemudian aku hanya menunjukan surat jingga tulisan tangan Irest yang dia berikan kepadaku.
“tunggu sebentar disini. Aku akan memanggil Ibu Ikha.” Ucap wanita itu memintaku untuk menunggu kemudian dia pergi ke dalam sambil membawa surat jingga yang aku berikan dan kembali bersama dengan Ibu Ikha (Ibunda Irest).
“Frenando? Apa kabar? Ayo silahkan masuk.” Ucap Ibu Ikha mengizinkanku masuk ke dalam setelah membaca tulisan isi surat jingga yang aku tunjukan.
“iya Tante, terima kasih. Kok Tante Ikha tahu saya? Kan ini pertama kali kita bertemu.” Ucapku penasaran bertanya pada Ibu Ikha.
“jangan panggil Tante, panggil aja Ibu Ikha. Iya, dulu Irest sering cerita tentang kamu.” Jawab Ibu Ikha menjelaskan sambil berjalan di sampingku dan menuntunku di antara keramaian pesta acara pernikahan anaknya.
“masa Bu?” tanyaku kaget karena ternyata tanpa aku ketahui Irest sering menceritakan aku kepada Ibu Ikha.
“iya, Ibu juga menemani Irest saat menulis surat ini jadi Ibu tahu pasti kalau kamu adalah Frenando yang selalu Irest ceritakan.” Ucap Ibu Ikha sambil memberikan kembali surat jingga Irest kepadaku.
“tapi Bu, tolong jangan kasih tahu Irest dulu kalau aku sudah hadir disini. Aku ingin memberikan kejutan untuk Irest.” ucapku memohon pada Ibu Ikha.
“baik, Ibu tidak akan memberitahu Irest kalau itu yang kamu mau.” Ucap Ibuy Ikha menyetujui permohonanku.
“terima kasih Bu.” ucapku berterima kasih atas pengertian Ibu Ikha.
“ya sudah Ibu tinggal dulu yah, mau menemui tamu yang lain. Silahkan nikmati pestanya Fren.” Ucap Ibu Ikha meninggalkan aku sendirian di antara keramaian para tamu yang tak aku kenali.
Di antara meriahnya para tamu yang hadir, terdengar suara Host menyapa para tamu undangan.
“Assalamu’alaikum, kami atas nama segenap keluarga besar dari kedua mempelai mengucapkan banyak terima kasih kepada para tamu undangan yang sudah hadir di malam Resepsi Pernikahan antara Irest Khasanah Amaira dengan Zifian. Mohon berikan do’a restu untuk kedua mempelai.” Ucap Host memberikan sambutan tanda acara sudah di mulai.
“saya persilahkan kepada para tamu undangan naik ke atas mimbar bagi yang ingin memberikan ucapan atau kata sambutan kepada kedua mempelai.” Sambung Host mempersilahkan para tamu.
Aku pun meraih gitar kemudian perlahan berjalan melangkah ke arah mimbar untuk naik dan memberikan kejutan kepada Irest.
“Assalamu’alaikum. Perkenalkan nama saya Frenando, saya mohon izin untuk meyampaikan sesuatu.” Ucapku mengawali waktu di atas mimbar, aku melihat Irest beranjak dari tempat duduk pengantin dan berdiri menatap ke arahku dengan raut wajah kaget seakan tak percaya melihatku sedang berbicara di atas mimbar.
“saya berterima kasih kepada seseorang yang telah mengundangku dan memberikan kesempatan hadir pada acara malam ini untuk mengucapkan selamat kepada keluarga besar kedua mempelai atas pernikahan Irest Khasanah Amaira dengan Zifian, semoga pernikahan ini menyatukan cinta kedua mempelai sampai ajal menjemput.” Sambungku menyampaikan ucapan selamat untuk Irest dan Zifian. Tampak Irest kembali duduk dengan senyum gembira mendengar apa yang aku ucapkan.
“biarkan, biarkan debur ombak menyapu tepian hati mengikis butiran rasa ini. biarkan, biarkan angin menerbangkan resahku ke awan dan jatuh berantakan memecah pilu. Biarkan, biarkan semesta merasakan. Biarkan, agar aku mengerti. Itu adalah sebaris puisi dari Irest khasanah Amaira. Selamat ulang tahun Irest, saya yakin ini adalah hari paling indah dalam hidupmu. Tepuk tangan untuk Irest Khasanah Amaira.” Aku membacakan puisi yang pernah Irest bacakan padaku, terlihat Irest trsenyum malu mendengarku membacakan puisi miliknya di hadapan para tamu.
“Ayah saya pernah berkata, jika kita menginginkan sesuatu jangan kita simpan untuk diri kita sendiri. Biarkanlah semua berjalan seperti yang seharusnya, walau pun kita sulit untuk mengikhlaskannya.” Ucapku menyampaikan sebuah pesan dari Ayahku, membuat semua tamu undangan terdiam.
“hidupilah hidup, arti yang bermakna hanya pemikiran. Akan lebih bermakna dengan bukti perbuatan. Hiduplah untuk mati, renungi diri dalsm waktu yang tersisa tanpa tersia-sia. Berfikir realistis, hari esok bukan janji. Kau sudah memenuhi janjimu dan menikah dengan Zifian, maka kini aku akan memenuhi janjiku padamu.” Ucapku mencoba mengingatkan Irest tentang kenangan saat di Pantai Alam Indah dulu. Aku menatap ke arah Irest dan dia berdiri dari tempat duduk.
“selanjutnya saya akan menyanyikan sebuah lagu sederhana yang aku ciptakan, lagu ini terinspirasi dari Irest yang pernah bercerita kepadaku bahwa dia sangat mencintai dan merindukan Zifian. Saya pernah berjanji, dan inilah bukti janji yang pernah aku ucapkan.” Ucapku membuktikan janjiku pada Irest sambil duduk kursi dan mengambil gitar yang tadi aku bawa.
Irest pun perlahan melangkah dari tempat duduk pengantin meninggalkan Zifian sendiri menuju ke arah mimbar seiring dengan suara petikan nada dari gitar yang aku mainkan.
“bertajuk Setia.” Ucapku sambil memainkan acoustic harmony mengiringi barisan lirik lagu yang aku nyanyikan.
Kita slalu bersama.
Jalani indah cinta.
Semoga ini kan abadi selamanya.
ku ingin engkau setia.
kepada satu cinta.
aku dan dirimu satu.
Oh cintaku, cepatlah kembali.
Aku slalù merindukanmu.
Hanya untukmu, aku tlah berjanji.
Disini aq menantimu.
aku percaya cinta.
walau kau jauh di sana.
janji kita , setia.
Always i miss U.
Promise loving U.
U'll b there, I wait here for U.
“walau tidak seindah senyummu, tapi lagu ini aku ciptakan untukmu sebagai kado ulang tahun dan pernikahanmu. Terima kasih, Assalamu’alaikum.” Ucapku setelah selesai mempersebahkan sebuah lagu dan mengakhiri pertunjukanku, suara tepuk tangan para tamu undangan mengantarku menuruni mimbar dan di hadapanku Irest menyambut dengan air mata haru penuh kebahagiaan.
“makasih banget Fren, aku pikir kamu ngga bakalan dateng dan melupakan janjimu.” Ucap Irest di hiasi isak haru sambil memelukku. Dari jauh terlihat Zifian berjalan ke arahku.
“aku disini untuk membuktikan janjiku padamu. Hapuslah air matamu, dan jangan lagi kau meneteskan air mata karena takan ku biarkan Cinderela bersedih, karena sedihmu adalah mautku.” Ucapku menenangkan Irest sambil meyapu air mata di wajah Irest.
“maaf Fren, tolong maafin aku karena telah membuatmu menanggung semua perasaan itu.” ucap Irest meminta maaf padaku.
“mungkin terkadang hidup itu tidak adil. Jangan memikirkan tentang apa yang kamu dapatkan, tapi cobalah pikirkan tentang apa yang telah kamu berikan. Kamu tahu apa yang telah kamu lakukan? Kamu tidak pernah melakukan apapun. Sejak awal semua ini salahku, karena waktu tidak mengizinkan. Kini aku harus pergi meninggalkanmu, dan merelakan Cinderela hidup bahagia dengan Pangeran Zifian. Jaga diri baik-baik Irest Khasanah Amaira.” Ucapku lembut menanggapi permintaan maaf Irest.
“bimbinglah dia di jalan Allah S.W.T, bangun keluarga yang sakhinah, mawadah dan warokhmah. jadilah seorang suami yang terbaik untuk Irest karena dia sangat mencintaimu. Tolong jaga Irest dengan baik Zif.” ucapku menyampaikan pesan dan nasehat kepada Zifian demi kebaikan kehidupan mereka kelak.
“insya Allah, aku janji. Makasih banget Fren.” Ucap Zifian menanggapi ucapanku.
“sekarang aku harus pergi, Assalamu’alaikum.” Aku mengucapkan salam dan berpamitan pada Irest dan Zifian. Semua mata para tamu undangan yang hadir menatap mengiringiku melangkahkan kaki dengan pasti keluar dari keramaian.
Kekasih yang baik ialah dia yang tahu kapan dia jatuh cinta dan dia yang tahu kapan untuk berhenti mengejar cintanya.
Cinta sejati, bukan tentang bagaimana kita mendapatkannya dan seberapa keras usaha kita untuk mendapatkannya. Hidup adalah pilihan, cinta sejati pun pilihan. Bukan tentang pilihan untuk mengawalinya, tapi cinta sejati ialah tentang bagaimana kita menbuat pilihan untuk mengakhirinya dengan indah. Dan menjalaninya adalah cara untuk menentukan pilihan kita.
Cinta datang dan pergi.
Setiap kisah terukir dalam lembaran hati.
Semua yang berawal pasti akan berakhir.
Semua cerita akan terhapus dan terlupakan.
Tak ada masa lalu, tak ada masa depan.
Tak ada kata terakhir untuk sebuah lembaran baru.
Aku, kamu, mereka, kita semua harus pergi.
SELESAI
Ditulis oleh : Wong Edan
Email : fren_ando@yahoo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar